PT Jimbaran Hijau Tepis Tuduhan Kuasai Tanah dengan Cara Lawan Hukum

Kamis, 06 Februari 2025 21:19 WITA

Card image

Ratusan warga Desa Adat Jimbaran mendatangi DPRD Bali bahas penyalahgunaan lahan, Senin (3/1/2025). (Foto: Ran/MCW)

Males Baca?

DENPASAR - PT Jimbaran Hijau menjadi salah satu pihak yang digugat Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) terkait kepemilikan tanah di wilayah Desa Adat Jimbaran. Mereka digugat lantaran diduga merampas tanah hak milik perseorangan, dan atau tanah milik (druwe) Desa Adat Jimbaran seluas 280 hektare dengan cara melawan hukum.

Pernyataan ini langsung dibantah oleh PT Jimbaran Hijau yang diwakili oleh sang kuasa hukum Agus Samijaya. Ia menilai pernyataan yang terlontar dari perwakilan Kepet Adat Jimbaran I Wayan Bulat dan kuasa hukumnya I Nyoman Wirama tidak berdasar.

"Pernyataan maupun keterangan tersebut sungguh merupakan berita bohong, sesat dan sangat menyesatkan yang sama sekali tidak berbasis data empiris, data fisik dan data yuridis  atas tanah dengan benar dan asbun ( asal bunyi ) yang bersifat akal-akalan dalam usaha untuk mencari dan meraih dan mendapatkan  empati dan simpati  publik," kata Agus dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi MCW, Kamis (6/2/2025).

Agus Samijaya menegaskan, tanah yang dimiliki kliennya didapat dengan cara benar dan sah sesuai prosedur hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak tahun 1990-an. Pihaknya juga mempertanyakan mengapa kasus ini baru diungkap sekarang.

Lebih lanjut, Agus justru menilai pernyataan I Wayan Bulat dan I Nyoman Wirama Cs tersebut merupakan reaksi jurus mabuk lantaran pernah dilaporkan ke pihak Polda Bali. Agus menceritakan, Wayan Bulat pernah dilaporkan atas tindakan penganiayaan terhadap security PT Jimbaran Hijau dan divonis bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri  Denpasar Nomor : 721/Pid.B/2021/PN. Dps, tanggal 30 September 2021.

Selain itu, kata Agus, Wayan Bulat saat ini tengah menjalani proses hukum di Polresta Denpasar sebagai tersangka atas laporan security PT Jimbaran Hijau karena melakukan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin dan atau memakai tanah milik orang lain tanpa ijin atau tanpa hak. "Sebagaimana laporan Polisi Nomor : LP/B/100/II/2022/SPKT/Satreskrim Polresta Denpasar tanggal 22 April 2022 yang saat ini prosesnya dalam persiapan Persidangan," lanjutnya.

Wayan Bulat, tambah Agus, juga tengah menjalani proses hukum sebagai terlapor di Polda Bali dengan kasus yang sama sesuai laporan polisi Nomor : LP/B/582/VIII/2024/SPKT/Polda Bali 14 Agustus  2024.

Hal yang sama berlaku untuk kuasa hukum Kepet Adat Jimbaran I Nyoman Wirama. Menurutnya, pernyataan Wirama hanya sebagai alibi di tengah kasus hukum yang dialaminya. Saat ini, Wirama tengah dilaporkan ke Polda Bali atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat.

"Dimana surat tersebut telah digunakan untuk mengajukan gugatan kepada pihak PT. Jimbaran Hijau dengan Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor : LP / B / 725 / X / 2024 / SPKT / POLDA BALI tanggal 19 Oktober 2024," jelasnya.

{bbseparator}

Di sisi lain, Agus Samijaya mengatakan persoalan sengketa pemilikan tanah perseorangan maupun kelompok yang tergabung dalam Kepet Adat Jimbaran sejatinya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Denpasar dan sebagian besar telah berkekuatan hukum tetap.

"Namun karena mereka tidak puas dengan hasil putusan Pengadilan Negeri Denpasar, kemudian mereka mengajukan kembali dengan gugatan baru  yang saat ini sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Denpasar dengan mencoba meraih simpati publik dengan mengatasnamakan Kepet Adat," urainya.

Menyikapi gugatan, Agus Samijaya mengatakan PT Jimbaran Hijau menghormati proses hukum yang tengah berjalan. "Dan mari kita tunggu hasil putusan dari persidangan yang sedang berjalan tersebut," tukas Agus Samijaya.

Diberitakan sebelumnya, ratusan warga Desa Adat Jimbaran tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) menggeruduk kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, Senin (3/1/2025). Mereka meminta tanah yang telah dihuni secara turun-temurun oleh masyarakat adat agar dikembalikan.

Perwakilan Kepet Adat I Wayan Bulat menerangkan, terdapat kurang lebih 280 hektare tanah adat berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) yang saat ini dikuasai investor dari beberapa perusahaan. 

Pihaknya juga mencium adanya praktek melawan hukum terkait proses perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) pada 2010 lalu. Sebab, kata dia, ketika diperpanjang sebagian besar lahan tersebut dalam kondisi terlantar.

"Adanya penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur Bali dan pejabat lainnya, bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral yang diselenggarakan pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini di lokasi tidak ada pembangunan sebagaimana dimaksud," tegas Wayan Bulat.

Reporter: Ran


Komentar

Berita Lainnya