Dewas Sidangkan 5 Kasus Pelanggaran Etik Pegawai KPK Sepanjang 2022
Senin, 27 Mei 2024 09:46 WITA
Dewan Pengawas (Dewas) KPK Menggelar Konferensi Pers Terkait Capaian Kinerja pada Tahun 2022, Selasa (10/1/2023). (Foto: Putra/mcw)
Males Baca?
JAKARTA - Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) membeberkan capaian kinerja sepanjang tahun 2022. Salah satu kerja Dewas, mengadili pelanggaran etik para pegawai KPK. Total, Dewas sudah menyidangkan lima kasus pelanggaran etik insan KPK di 2022.
"Kalau kita lihat penyelenggaraan sidang etik untuk tahun 2022 ada lima berkas perkara. Karena yang dua ini adalah laporan tahun lalu dan baru disidangkan di tahun 2022," kata Anggota Dewas KPK, Albertina Ho di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Senin (9/1/2023).
Adapun, kasus pelanggaran etik pertama yang disidangkan Dewas pada 2022 yakni, terkait ketidakprofesionalan salah satu pegawai KPK. Oknum tersebut merupakan bagian dari Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Oknum itu bekerja tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).
"Ini sehubungan yang bersangkutan ini sebagai atasan di dalam perkara bendahara pengeluaran pengganti di Kedeputian Bidang Penindakan dan Eksekusi," kata Albertina Ho.
"Nah, ini sebagai atasan di situ dinyatakan bekerjanya tidak sesuai dengan SOP dalam hal tentu saja melakukan pengawasan terhadap di bawahnya," sambungnya.
Lebih lanjut, kata Albertina, ada dua orang yang telah diperiksa berkaitan dengan ketidakprofesionalan sebagai pegawai KPK. Keduanya yakni, atasannya dan satunya lagi adalah pegawai di bagian Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK.
"Di mana yang bersangkutan itu bekerja tidak akuntabel dan tuntas yang mengakibatkan ada ketidakberesan lah dalam pertanggungjawaban pengeluaran uang APBN, dan itu sudah diselesaikan," terangnya.
{bbseparator}
Lalu, kasus kedua yang disidangkan Dewas di 2022 yakni carry over dari 2021. Kasus itu berkaitan dengan perselingkuhan. Saat itu, Dewas menerima laporan adanya perselingkuhan antar pegawai KPK. Kemudian Dewas menindaklanjutinya.
Dua orang yang berselingkuh tersebut kemudian diperiksa Dewas KPK. Hingga akhirnya, kasus tersebut disidang etik oleh Dewas pada 2022. Hasilnya, kedua insan KPK tersebut terbukti bersalah karena telah berselingkuh.
"Mereka berdua ini dinyatakan melanggar ketentuan menyadari seluruhnya bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi," ungkap Albertina Ho.
"Untuk kasus kedua ini dikenai sanksi sedang berupa permintaan maaf secara terbuka tidak langsung, kalau yang kasus pertama yang satu sanksi ringan berupa permintaan maaf secara tertutup, dan yang satu sanksi sedang berupa permintaan maaf secara terbuka tidak langsung," imbuhnya.
Kemudian, kasus ketiga yang memang juga laporannya di tahun 2022. Kasus itu berkaitan dengan pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar (LPS). Saat itu, Lili dilaporkan ke Dewas KPK karena menerima gratifikasi berupa tiket nonton ajang balap Moto GP di Sirkuit Mandalika, Lombok.
"Di dalam kasus ini, ibu LPS itu diduga melakukan pelanggaran berupa mengadakan hubungan dengan pihak berperkara dalam hal ini adalah pihak Pertamina atau menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya sebagai pimpinan KPK untuk memperoleh fasilitas dari Pertamina dan tidak melaporkan gratifikasi yang dianggap suap," bebernya.
{bbseparator}
Dewas sempat menyidangkan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar tersebut. Namun, pada proses persidangan, Lili mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Karena sudah mengundurkan diri, kata Albertina, Dewas menghentikan proses persidangan.
"Oleh karena itu, yang bersangkutan karena sudah buka n sebagai insan komisi, kami tidak bisa melanjutkan lagi persidangan, dan perkara yang bersangkutan dinyatakan gugur," terangnya.
Kemudian, Dewas kembali menerima laporan perselingkuhan yang melibatkan oknum pegawai KPK. Oknum pegawai KPK tersebut terbukti berselingkuh dan telah diberikan sanksi. Adapun sanksinya, berupa permintaan maaf
"Diputus dikenakan sanksi sedang berupa permintaan maaf secara terbuka tidak langsung, dalam hal ini yang bersangkutan itu melanggar ketentuan tidak menyadari sepenuhnya bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi," katanya
Sementara kasus yang terakhir, kata Albertina, berkaitan dengan dua oknum KPK yang menggunakan scan tanda tangan untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran keuangan. Ditegaskan Albertina, hal itu seharusnya tidak diperbolehkan.
"Seharusnya tanda tangan langsung. Dua orang ini yang satu adalah yang bersangkutan sebagai petugas yang membuat surat-surat laporan LPJ pertanggungjawaban itu kemudian atasan langsungnya yang berfungsi sebagai PPK. Berdua ini dijatuhi sanksi ringan berupa permintaan maaf secara tertutup, itu sudah diselesaikan," pungkasnya.
Reporter: Putra
Editor: Sevianto
Komentar