Direktur YLBHI Sisar Matiti: Dialog Kebudayaan Perlu Diterapkan di Papua
Minggu, 09 Maret 2025 20:13 WITA

Yohanes Akwan saat berada di Kantor YLBH Sisar Matiti Bintuni Papua Barat.
Males Baca?BINTUNI - Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti Bintuni, Yohanes Akwan, S.H., M.A.P., C.L.A menilai bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua hingga saat ini belum mampu memberikan perlindungan nyata terhadap hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua. Hal itu ia sampaikan di Bintuni, Papua Barat, Minggu (9/3/2025).
Menurutnya, Otsus Papua yang dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan telah beberapa kali direvisi, terakhir melalui UU Nomor 2 Tahun 2021, semestinya menjadi instrumen negara dalam menghormati dan melindungi masyarakat hukum adat Papua serta menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi.
“Komitmen itu tertuang secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Kata ‘adat’ bahkan disebut berulang kali, termasuk dalam PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang kewenangan kelembagaan otonomi khusus dan PP Nomor 107 tentang kelembagaan daerah,” tegas Akwan.
Namun demikian, kata Akwan, berbagai kebijakan afirmatif yang dikeluarkan pemerintah pusat justru belum menunjukkan hasil signifikan. Sebaliknya, ia menilai hak-hak rakyat, khususnya masyarakat adat Papua, kian terancam akibat proyek-proyek besar yang didominasi kepentingan korporasi.
“Contoh nyata adalah konflik lahan di Merauke, Papua Selatan, yang terjadi dalam proyek Food Estate dan pembangunan Bandara Mopah. Masyarakat adat tidak dilibatkan, ruang hidup mereka digusur, hutan dan lahan gambut rusak, serta muncul teror dari aparat keamanan,” jelasnya.
Yohanes Akwan menyebut kondisi ini menjadi cermin bahwa Otsus Papua belum berhasil menjamin perlindungan terhadap masyarakat adat. Ia menekankan bahwa semangat awal Otsus adalah untuk memberikan pengakuan terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua, terutama hak atas tanah, air, dan sumber daya alam yang melekat secara turun-temurun.
“Sayangnya, yang terjadi justru perampasan tanah, penangkapan, bahkan pembunuhan tanpa prosedur hukum yang jelas. Ini jelas melukai rasa keadilan masyarakat Papua,” ujar Akwan.
Ia juga menyoroti bahwa Otsus Papua seharusnya memiliki kedudukan lex specialis atau kekhususan hukum yang mengungguli peraturan nasional lainnya di wilayah Papua. Namun dalam praktiknya, ketentuan Otsus sering dikesampingkan ketika bersinggungan dengan kepentingan nasional.
Sebagai solusi, Akwan mendorong adanya Dialog Kebudayaan dan Dialog Damai Papua antara Pemerintah Pusat dan masyarakat Papua. Ia menilai dialog terbuka berbasis budaya adalah jalan tengah untuk merumuskan kesepakatan damai yang berkelanjutan.
“Kalau Jakarta masih menggunakan pendekatan keamanan, bukan kebudayaan, maka persoalan Papua tak akan pernah selesai. Diperlukan perubahan cara pandang terhadap Papua, dari objek keamanan menjadi subjek kebangsaan,” tandasnya.
Reporter: M Ahmad
Berita Lainnya

Perjuangan DAMAI Berakhir di MK, Serukan Persatuan untuk Membangun Teluk Bintuni

JMSI Rayakan HUT ke-5 di Banjarmasin, Luncurkan Program Literasi ‘JMSI Goes To School’

KPK Ulik Peran PT Telkom di Kasus Digitalisasi SPBU Pertamina

Periksa Mantan Dirut Telkom Alex J Sinaga, KPK Dalami Dugaan Proyek Fiktif

Paslon DAMAI Optimistis Gugatan PHPU Pilkada Teluk Bintuni Lolos ke Sidang Pembuktian MK

KPK Bongkar Pertemuan Harun Masiku dan Djoko Tjandra di Malaysia

Dukung Prabowo, KPK Desak Pemerintah Buat Undang-Undang Pemiskinan Koruptor

Usut Kasus Harun Masiku, KPK Periksa Djoko Tjandra

Bacakan Nota Keberatan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Singgung Nama Jokowi

KPK Geledah Sejumlah Lokasi di Ogan Komering Ulu

KPK Geledah Kantor Pengacara di Jaksel Telusuri Pencucian Uang SYL

Komentar