KPK Temukan 8,3 Juta Ha Lahan HGU Belum Terpetakan

Senin, 27 Mei 2024 06:22 WITA

Card image

Kajian Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam empat tahun terakhir terjadi 31.228 kasus pertanahan, (Foto: Gedung KPK)

Males Baca?


JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, kepastian hukum dan hak atas tanah menjadi contoh konflik agraria yang selama ini sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia. 

Dengan total luas wilayah daratan sekitar 1.905 juta km², konflik ini menjadi masif dan penting untuk segera diurai agar mendapat solusi dan mencegah peluang terjadinya korupsi.

Kajian Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam empat tahun terakhir terjadi 31.228 kasus pertanahan. Dengan rincian 37 persen sengketa, 2,7 persen konflik dan 60 perkara perkara. 

"Dalam periode yang sama, KPK juga menemukan sebanyak 244 kasus mafia tanah," ucapnya dalam penyampaikan hasil kajian di Ruang Prona, Gedung Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (3/1/2023).

Menurutnya, masalah klasik sengketa agraria yang ditemukan adalah tumpang tindih Hak Guna Usaha (HGU). Melalui Kajian ‘Pemetaan Korupsi Layanan Pertanahan Tahun 2022’, KPK memotret bahwa sengketa ini terjadi karena proses sertifikat luas HGU di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan (landing).

"Sertifikat HGU yang belum terpetakan mencapai 1.799 sertifikat dengan luas mencapai 8,3 juta hektare,” bebernya.

Setelah ditelisik, penyebab terjadinya kasus di atas karena pengukuran tanah sebelumnya masih menggunakan koordinat lokal (berdasarkan tanda alam), belum menggunakan sistem proyeksi TM-3 (turunan sistem koordinat Universal Transverse Mercator), dan terbitnya SK penetapan Kawasan hutan dan Perda RTRW kawasan hutan setelah HGU terbit.

{bbseparator}

Fakta ini didapati setelah KPK melakukan analisis data terhadap 299 berkas layanan HGU tahun 2021 dari Sistem Komputerisasi Kantor Pertanahan mulai dari pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan di 25 provinsi. Pada saat yang sama KPK juga melakukan pengujian standar layanan Service Level Agreement (SLA).

Adapun yang selama ini banyak terjadi, menurut Ghufron, di atas satu bidang tanah terbit beberapa sertifikat dan kemudian dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelahnya, BPN sebagai pemangku kepentingan seakan lepas tanggung jawab dan konflik bergulir di pengadilan.

“Ketika ada masalah seakan-akan penyelesaiannya di pengadilan, yang semestinya negara itu profesional mengatakan mana yang benar dan salah. Seakan-akan tidak mau ambil risiko dan rakyat yang berjuang sendirian. Kami berharap ada perbaikan dari teman-teman BPN,” tuturnya.

Di lokasi yang sama Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menjelaskan, dalam beberapa periode terakhir, KPK juga menangani kasus korupsi pertanahan di Indonesia. Salah duanya adalah suap HGU di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau dan Kalimantan Barat.

Dalam perkara suap pengurusan hak guna usaha lahan di Riau, diketahui pihak swasta bermufakat dengan pihak BPN dalam pengurusan dan perpanjangan HGU. 

"Sehingga telah diduga adanya tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji. KPK pun telah melakukan penahanan kepada para Tersangka pada tahun 2022," ujarnya.

Pahala melanjutkan, setelah dilakukan monitoring, konflik HGU disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Dimana Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tidak mengatur sanksi tegas terkait pelanggaran kewajiban HGU. 

{bbseparator}

Juga pengawasan atau pemeriksaan kepatisan HGU sejauh ini masih minim karena hanya dilakukan secara sampling satu pemegang HGU/Kantah per tahun.

“(Penyebabnya) minim anggaran pengawasan HGU dan tidak dibangun mekanisme pengawasan berbasis risiko dan teknologi. Akibatnya terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban pemegang HGU dan potensi tumpang tindih tinggi,” terang Pahala. 

Di sisi lain, KPK juga menemukan penyimpangan SOP penerbitan HGU masih marak terjadi. Ditemukan 61 persen pelayanan HGU tahun 2021 melebihi SLA. Rata-rata penyimpangan waktu penerbitan dari SLA adalah empat sampai 12 bulan. Penyimpangan waktu layanan paling lama adalah SK Perpanjangan HGU Badan Hukum yakni 269 hari. 

Sementara jumlah layanan paling banyak melebihi SLA ialah SK pemberian HGU Badan Hukum sebesar 90 persen. Dari hasil survei, Kantah Kabupaten Kutai Timur paling banyak melebihi SLA (60 persen). Pun, ditemukan penambahan biaya tidak resmi penerbitan HGU mencapai 250 persen. 

Pelbagai penyimpangan ini disebabkan karena tidak adanya pedoman atau petunjuk teknis penilaian kesesuaian berkas HGU untuk pemeriksa dokumen di BPN. Belum ada integrasi data antar-instansi terkait (KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian) untuk memastikan proses verifikasi atau pemeriksaan akurat. 

"Akibatnya proses HGU yang menjadi kewenangan pusat memakan waktu lama dan (terdapat) potensi suap atau pungli untuk mempercepat layanan,” ungkapnya.

{bbseparator}

Menurut Pahala, perbaikan layanan dari Kementerian ATR/BPN harus segera dilakukan demi kemaslahatan masyarakat luas. Karena berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2022, Kementerian ATR/BPN mendapatkan indkes 70,87 atau menempati posisi lima terendah K/L pada tahun ini.

“Risiko gratifikasi/suap/pungli 33 persen penilaian internal, 31 persen penilaian eksternal, 90 persen penilaian pakar. Hasil ini mengalami penurunan dari tahun 2021 di mana pada tahun tersebut, Kementerian ATR/BPN mendapatkan indeks 77,82 dengan risiko gratifikasi/suap/pungi (28 persen penilaian internal, 23 persen penilaian eksternal, 25 persen penilaian pakar)," bebernya.

Sementara Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto berujar, kajian ini merupakan pijakan bagi lembaganya untuk melakukan upaya perbaikan. Dalam waktu dekat, ia akan memanggil pihak-pihak yang terlibat untuk memaksilkan pelayanan agar konflik dapat diminimalisir.

“Akan saya warning agar pelayanan ke masyarakat membaik. Terima kasih masukan dan apa yang disampaikan ini pasti akan saya tindak lanjuti dan saya cek di lapangan,” tegas Hadi.

 

Editor: Sevianto

 
 
 
 


Komentar

Berita Lainnya