Dalam Orasi Ilmiah, Yusril Sebut Perubahan Kedudukan MPR Pascaamandemen Hilangkan Ide Dasar Bernegara

Rabu, 29 Mei 2024 04:23 WITA

Card image

Prof.Yusril Ihza Mahendra bersama M.Shalahuddin Jamil (Ketua DPW Partai Bulan Bintang Provinsi Bali). (Fioto: Dok.Rudy/mcw)

Males Baca?


PANGKAL PINANG - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, perubahan kedudukan MPR akibat amandemen UUD 45 telah menyebabkan bangsa ini kehilangan idea dasar bernegara.

Yang sebelumnya digali para pendiri bangsa dari tradisi asli masyarakat suku yang bersumber Adat dan ajaran Islam.

Yusril mengungkapkan hal tersebut dalam Orasi Ilmiahnya pada peringatakan Dies Natalis ke 17 Universitas Bangka Belitung (UBB) di Pulau Bangka.

Menurutnya, perubahan status MPR yang semula merupakan "penjelmaan seluruh rakyat Indonesia" dan "lembaga tertinggi negara" yang melaksanakan kedaulatan rakyat, menjadi lembaga tinggi negara biasa telah menyebabkan bangsa ini kehilangan identitas sebagai bangsa yang mandiri dalam merumuskan konsep bernegaranya. 

"Sebuah negara semestinya digagas berdasar idea dasar bernegara yang digali dari khazanah pemikiran bangsanya sendiri, bukan mencopy idea dasar dari bangsa-bangsa lain," kata Yusril yang juga anggota Dewan Pembina UBB, Rabu (12/4/2023).

Dengan demikian lanjutnya, pelaksanaan dan perkembangan negara itu 
akan sejalan dengan pemikiran dan perasaan rakyatnya sendiri. Rakyat akan merasakan bahwa mereka tinggal di rumahnya sendiri, yang sejalan dengan cita, pemikiran dan perasaannya.

Yusril mengutip pandangan Prof Soepomo bahwa konsep bernegara RI yang menempatkan MPR sebagai lembaga yang supreme, berasal dari praktik penyelenggaraan kehidupan masyarakat desa. 

Kekuasaan tertinggi di desa terletak pada lembaga musyawarah desa. Rapat musyawarah desa itu dihadiri oleh orang-orang terpandang dan tokoh-tokoh yang ada dalam masayarakat desa itu. 

Orang-orang terpandang di desa itulah yang bermusyawarat memutuskan segala hal yang menyangkut desa itu dengan cara mufakat. 

{bbseparator}

"Ini menggambarkan bahwa sejatinya kita tidak melaksanakan demokrasi secara langsung sebagaimana tercermin dalam sila ke-4 Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan," ujarnya.

Saat ini rakyat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung tanpa melalui musyawarah MPR lagi. Kedudukan MPR sekarang menurut Yusril, sudah tidak sejalan dengan sila kerakyatan sebagaimana disebutkan dalam sila ke-4 Pancasila.

Kedudukannya tidak lagi mencerminkan idea dasar bernegara yang asli Indonesia, di mana MPR yang asli terdiri atas anggota DPR ditambah utusan daerah-daerah dan golongan-golongan, sehingga semua unsur bangsa tercermin dalam lembaga itu.

"Kini utusan daerah dan golongan dihapuskan. MPR terdiri atas DPR dan DPD yang semuanya dipilih melalui Pemilu," ucapnya.

Selain itu, amandenen UUD 45 juga menghapuskan kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden serta menyusun GBHN. GBHN sekarang yang sejatinya adalah buatan rakyat, sekarang digantikan dengan program kerja Presiden yang dulu dijadikan bahan kampanye dalam Pilpres. 

Sebagai konsekuensi dari perubahan kedudukan MPR menjadi lembaga negara biasa, MPR juga dianggap tidak berwenang lagi membuat Ketetapan-Ketetapan yang merupakan produk hukum di bawah UUD dan di atas undang-undang.

Padahal di masa yang lalu, menurut Yusril, Ketetapan-Ketetapan MPR itu terbukti mampu mengatasi kelemahan UUD dan mengatasi krisis konstitusional yang terjadi. 

{bbseparator}

Dia memberi contoh, bagaimana MPRS dapat mengangkat Pejabat Presiden, ketika Presiden Sukarno diberhentikan pada tahun 1967. Ketetapan MPR pula yang dijadikan dasar keabsahan berhentinya Presiden Suharto dan digantikan BJ Habibie.

UUD 45 pasca amandemen telah mengatur bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden tiap lima tahun sekali. 

"Bagaimana jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena adanya bencana alam yang luar biasa, peperangan atau pemberontakan, merebaknya pandemi serta krisis ekonomi sehingga tidak ada dana untuk menyelenggaran Pemilu," tanya dia.

Yusril berpendapat, MPR lah semestinya yang dapat menunda Pemilu berdasarkan alasan-alasan di atas dan melakukan perpanjangan jabatan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPRD, DPD dan MPR serta menteri kabinet sampai jangka waktu tertentu. 

Namun semua itu hanya dapat dilakukan MPR, jika lembaga itu berwenang menerbitkan Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan (regeling). 

Keberadaan Ketetapan MPR sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang berada di antara undang-undang dasar dengan undang-undang dalam hirarki hukum kita telah disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

Namun keberadaannya dibatasi oleh penjelasan pasal itu, hanya pada Ketetapan-Ketetapan MPR sebagaimana disebutkan dalam TAP MPR No I/MPR/2003 saja. Penjelasan itu, menurut Yusril harus dihapuskan. 

"Dengan demikian, MPR akan menguat kembali kedudukannya dengan kewenangan membuat Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis konstitusional di negara kita ini," pungkasnya.

Editor: Ady


Komentar

Berita Lainnya