Sembilan Tahun Tak Ada Kejelasan, Sengketa Jual Beli Tanah Puri Dipolisikan
Senin, 27 Mei 2024 06:03 WITA
Nyoman Suarsana Hardika (depan) bersama kuasa hukumnya, I Made Dwi Atmiko Aristianto saat menunjukan lokasi objek sengketa, Senin (26/6/2023). (Foto: Ady/MCW)
Males Baca?
DENPASAR - Sembilan tahun menanti tidak kunjung ada kepastian, sengketa jual beli tanah pelaba (milik) merajan (tempat suci) Puri Satria Denpasar akhirnya dilaporkan ke polisi oleh Nyoman Suarsana Hardika selaku pembeli, atas dugaan tindak pidana penipuan dan memberi keterangan palsu dalam akta otentik jual beli objek tanah yang ada di Desa Sumerta Kelod, Denpasar Timur, Kota Denpasar.
Nyoman Suarsana Hardika melalui kuasa hukumnya, I Made Dwi Atmiko Aristianto menerangkan, dalam kasus ini pihaknya melaporkan 21 orang pengempon merajan Puri Satria Denpasar yang ikut dalam perikatan perjanjian jual beli objek tanah tersebut. Lebih lanjut, terangnya, kasus ini berawal pada 3 Juli 2014, kliennya sepakat membeli dua bidang tanah pelaba merajan Puri Satria Denpasar.
Baca juga:
Tim Kuasa Hukum Johannes Rettob dan Silvy Herawati Akan Siapkan Saksi Ahli Terkait Sprindik
Kedua bidang tanah yang dijual, yakni SHM Nomor 5671 luas objek 11.671 meter persegi, dijual seharga Rp 46 miliar dan SHM Nomor 1565 luas objek 6.670 meter persegi, dijual seharga Rp23,5 miliar. Seribu meter persegi dari luas objek SHM 1565 disepakati digunakan sebagai jalan, sehingga harga yang harus dibayar kliennya itu adalah 5.670 meter persegi.
Untuk SHM 5671, pembayaran telah dilakukan lunas dan telah diterbitkan SHM atas nama kliennya berdasarkan akta jual beli (AJB) Nomor 358/2015 tanggal 22 Juli 2015.
Sedangkan SHM 1565 belum dapat dilakukan pelunasan karena dokumen asli SHM itu dikatakan hilang. Maka, pada 15 Agustus 2014 dilakukan perjanjian jual beli untuk bidang tanah SHM 1565 dengan luas 5.670 itu antara Nyoman Suarsana Hardika selaku pembeli dan pihak keluarga Puri Satria selaku penjual.
Namun, belakangan diketahui SHM atau sertifikat 1565 yang dijual-belikan itu tidaklah hilang melainkan dijadikan jaminan hutang dengan seseorang di Kota Surakarta, Jawa Tengah, bahkan telah menjadi objek sita dari Pengadilan Negeri Surakarta.
“Pada tanggal 4 September 2022 dilakukan pengecekan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar, lalu disebutkan bahwa sertifikat yang dijual belikan terdapat dalam objek sita dari Pengadilan Negeri Surakarta.”
“Klien kami lantas menanyakan pada almarhum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan yang tentang keberadaan SHM 1565 dan atas penjelasan Almarhum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan menyatakan bahwa sertifikat tersebut sebagai objek jaminan di daerah Solo (Surakarta, red),” ungkap Miko, sapaan akrabnya.
{bbseparator}
Lebih lanjut, Nyoman Suarsana mengatakan pertemuan sudah pernah dilakukan berkali-kali dengan pihak pengempon puri untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi selalu buntu.
Menurutnya, objek yang menjadi masalah adalah Tanah Laba Pura Merajan Satria, pada tahun 1998 sempat ada gugatan dari pihak Budhi Moeljono (pihak ketiga, red) dengan pihak pangempon Laba Pura Puri Satria Denpasar, diketahuinya juga sudah ada putusan pengadilannya.
Perjalanannya, kembali lagi ada gugatan dari pihak Moeljono, juga perlawanan dari pihak pengempon Puri di tahun 2004, hingga ke tingkat Kasasi, belum usai perkara antara Puri dan Moeljono, pihak Puri di tahun 2014 lalu menjual tanah yang masih dalam sengketa tersebut kepada Suarsana.
Dengan dasar kepercayaan kepada pihak puri, Suarsana pun bersepakat dengan pihak pangempon plaba Merajan Puri Satria Denpasar, karena awal dirinya merasa tak ada masalah dan langsung menandatangani akta perjanjian jual-beli.
Saat penandatanganan perjanjian jual-beli, katanya, pihak pangempon menyatakan SHM 1565 hilang, dan akan segera mengurus penerbitan sertipikat pengganti. Namun, hingga tahun 2022 pihak pengempon dikatakan belum juga menunjukan sertifikat tersebut ke notaris.
Puncaknya, Suarsana dikagetkan dengan kedatangan pihak lain, yang tidak dikenal memperkenalkan diri bernama Hartanto, datang ke tempatnya bersama pihak puri. Hartanto, katanya, saat itu menyebut bahwa sertifikat yang diperjanjikan tersebut saat ini dipegang pihaknya.
Atas adanya pengakuan tersebut, membuat Suarsana merasa di bohongi, Suarsana juga sudah berkali-kali mempertanyakan penyelesaian masalah ini kepada pihak pengempon, namun tidak pernah ditanggapi. Hingga, somasi pun dilakukannya kepada pihak pengempon, namun hingga kini tetap tidak ada penyelesaian.
"Harapan saya tetap itu supaya secepatnya terselesaikan dan saya mendapatkan hak saya sesuai dengan ini. Dan kita pun bisa menyelesaikan kewajiban kita sisa pembayaran itu," katanya.
{bbseparator}
Sementara itu diketahui, objek tersebut saat ini dalam penguasaan fisik AA Ngurah Mayun Wiraningrat, putra almarhum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan. Dikonfirmasi terpisah terkait pelaporan tersebut, Ngurah Mayun mengaku justru mendukung proses hukum tersebut agar permasalahan ini menjadi terang benderang, pasalnya, ayahnya justru menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus ini.
“Kalau ini harus dituntut hukum silahkan dia tuntut, saya mendukung dia melakukan proses hukum. Jadi agar terang benderang masalah ini, siapa yang salah siapa yang benar. Setelah dia menang saya akan dukung, memberikan haknya. Jadi saya sangat mendukung proses hukum ini, dan saya minta proses hukum ini jangan setengah-setengah. Hukum jangan melihat kanannya pejabat, kirinya pejabat,” ujarnya.
“Jadi saya sengaja bikin bangunan ini (bangunan semi permanen di lokasi objek, red) agar Pak Nyoman Liang (Nyoman Suarsana Hardika, red) serius menuntun masalah ini, jangan setengah-setengah, biar jelas benar salahnya,” imbuhnya.
Sebelumnya, dikonfirmasi awak media melalui sambungan telepon, salah satu pengempon Puri Satria yang juga terlapor dalam kasus ini, Drs. Cokorda Ngurah Bagus Agung membenarkan adanya pemeriksaan oleh penyidik Polda Bali. Ia juga membenarkan sudah melakukan pertemuan kepada pihak Nyoman Suarsana untuk melakukan mediasi, tetapi belum menemui penyelesaian.
“Saya mengetahui saat usaha untuk berdamai, nah seminggu ini karena damai yang kita niati, tentunya atas kedua belah pihak terkait. Nyatanya, itu belum ketemu damainya, sehingga saya tidak mau lanjut mengurus itu. Dari pihak semeton sementara ini menyerahkan kepada konsultan hukum, belum mencari pengacara,” kata Cok Bagus, panggilannya, saat dikonfirmasi langsung melalui telepon, Kamis (22/6/2023).
“Belum menemui ujungnya, karena kami berbanyak orang dan kuasa damai itu diminta kita untuk bernegosiasi sebelum penandatanganan, di sana oleh pihak lawan tidak diberikan nego sebelum ada surat kuasa,” imbuhnya.
Dirinya berharap persoalan ini segera dapat terselesaikan, agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan. “Saya kenal (Pak Nyoman Suarsana, red) setelah ada transaksi. Kedua belah pihak, sebenarnya tidak ada masalah, ini kan karena ada pihak ketiga (Pihak di Solo, red). Itu saja yang bisa saya sampaikan, supaya di internal keluarga saya tidak salah,” tutup Cok Bagus.
Editor: Ady
Komentar