Tolak Permohonan Informasi, Kantor Pertanahan Kota Surabaya Diadukan ke KIP

Selasa, 28 Mei 2024 18:41 WITA

Card image

Dr. I Wayan Suka Wirawan, SH., MH. Advokat pada Digesta Law Firm (Foto : MCWNEWS)

Males Baca?


MCWNEWS.COM, SURABAYA - Advokat pada Digesta Law Firm, Dr. I Wayan Suka Wirawan, SH., MH mengkungkapkan jika Komisi Informasi (KIP) Provinsi Jawa Timur saat ini sedang memeriksa sengketa informasi publik yang permohonan penyelesaian sengketa.

Yang didaftarkan sejak tanggal 17 Januari 2022 antara kliennya sebagai Pemohon dan Kantor Pertanahan Kota Surabaya I sebagai Termohon. 

"Penyelesaian sengketa informasi publik melalui mekanisme ajudikasi non litigasi tersebut kami tempuh sebagai Pemohon setelah Termohon tegas menolak permohonan informasi dan pernyataan keberatan kami sebagai Pemohon," ucapnya, Kamis (19/5/2022).

Dijelaskan, termohon menolak memberikan informasi berupa salinan sertifikat hak milik atas tanah yang terletak di Mansion Park-Citraland City Surabaya berikut salinat warkah yang mendasari pendaftaran haknya di Kantor Pertanahan Kota Surabaya I.

Yaitu dengan alasan bahwa menurut bunyi regulasi tertentu, informasi yang kami mohonkan sebagai pemohon adalah "informasi yang dikecualikan".

Sejak didaftarkan sebagai sengketa informasi, proses ajudikasi telah tiba pada  tahap sidang pembuktian yang berlangsung, Rabu (18/5/2022).  

Dirinya menyatakan, pihaknya sebagai Pemohon bagaimanapun sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa betapa "formalistik" dan "tidak rasionalnya" alasan penolakan Termohon atas infomasi yang telah kami mohonkan.

Karena semua orang seharusnya memahami dengan baik "ratio legis" dari ketentuan informasi yang dikecualikan, tetapi ketentuan ini tidak mungkin dapat diterapkan ke dalam kasus di mana subyek yang meminta informasi.

"Yaitu klien kami sebagai Pemohon, adalah pihak yang ikut memiliki sebuah persil yang terletak di Mansion Park-Citraland City di Surabaya yang sebelumnya telah didaftarkan oleh pemilik yang lain, tanpa sama sekali melibatkan klien kami dalam proses pendaftaran," tuturnya.

{bbseparator}

"Bukti-bukti otentik kepemilikan atas dasar "harta bersama" ini, tentu saja telah kami tunjukkan," sambungnya.

Pernyataan peraturan bahwa terdapat informasi yang dikecualikan, bagaimanapun, selalu mengandaikan adanya pihak yang berhak dan pihak yang tidak berhak atas suatu hal, dan bahwa pengecualian itu selanjutnya dimaksudkan untuk melindungi mereka yang berhak dari mereka-mereka yang tidak berhak. 

Karena kliennya, sebagaimana telah dikemukakan memiliki bukti-bukti yang menurut hukum sempurna atas klaim kepemilikan property dan oleh sebab itu adalah salah satu pemilik, maka penolakan badan publik untuk memberikan informasi yang telah kami mohonkan sama saja dengan menyatakan bahwa: "pemilik pun tidak berhak atas akses informasi atas sesuatu yang dimiliki".

Kecuali terdapat perjanjian kawin, yang dalam kasus ini tidak pernah ada, harta bersama adalah jenis kepemilikan "co-ownership", tidak penting diperoleh dan terdaftar atas nama siapa pun, dan penentuannya sebagai demikian adalah perintah legislasi di bidang perkawinan; "demi hukum".

Menurutnya, bahwa konkretisasi konsep hak dalam praktik hukum harus melalui proses ajudikasi, misalnya melalui peradilan sipil tertentu, tujuannya tidak lebih dari sekedar kepastian hukum.

"Kami sangat menyayangkan bentuk-bentuk pelayanan badan publik yang secara signifikan telah merugikan klien kami sebagai akibat dari penolakan pemberian informasi yang justru menjadi kunci pembuktian hak atas agenda ajudikasi sipil," ujarnya.

Pelanggaran prosedural seperti keterlambatan respon badan publik atas permohonan informasi, atau pemberian respon dengan cara tidak patut, atau praksis "tolak dulu—uji konsekuensi kemudian" bagaimanapun adalah bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan, jika bukan sewenang-wenang.

Lepas dari adanya regulasi yang secara formal mendasari penolakan tersebut, yang oleh formalist dipikirkan konstitusional tetapi dapat dipastikan inkonstiusional menurut dikte "the rule of reason", bunyi paraturan dan penentuan makna interpretatif teks-teks regulasi yang dibuat, ditafsirkan, dan diterapkan sendiri oleh birokrasi bagaimanapun harus berangkat dari konsep tentang hak yang merupakan elemen kunci dari pernyataan "ius suum cuique tribuendi".

Lagi pula, sebagai subordinat UU kata Wayan Suka, regulasi tunduk pada prinsip-prinsip preferensi. Sulit pula bagi pihaknya untuk setuju atas diterimanya "pembuatan uji konsekuensi berlaku surut" dalam proses ajudikasi non litigasi atas penyelesaian sengketa informasi.

{bbseparator}

Yang esensi dan tujuannya justru dimaksudkan untuk menguji validitas pelaksanaan kewenangan badan publik atas pelayanan informasi.

Soal uji konsekuensi, kaidah kewenangannya berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) jelas hanya diberikan sebelum badan publik memutuskan untuk memberikan atau menolak permohonan informasi yang menurut badan publik dinyatakan, misalnya sebagai informasi yang dikecualikan. 

Jika uji konsekuensi ternyata tidak dilakukan oleh badan publik, ini hanya berarti bahwa badan publik tersebut telah mengabaikan kewajiban yang diharuskan oleh legislasi, dan oleh sebab itu keputusan yang mensyaratkannya otomatis catat prosedur. 

Kewenangan untuk menguji validitas keputusan badan publik tersebut selanjutnya beralih kepada Majelis KIP, dan Majelis tidak perlu meminta kembali badan publik untuk melakukan uji konsekuensi karena prinsipnya, demikian UU KIP, badan publik tersebut acontrario tidak lagi berwenang untuk melakukan uji konsekuensi setelah memutuskan untuk menolak suatu permohonan informasi.

Setiap regulasi yang substansinya bertentangan dengan kaidah kewenangan sebagaimana diatur dalam UU KIP tidak sah dijadikan rujukan untuk meminta badan publik melakukan uji konsekuensi pasca penolakan permohonan, bukan hanya karena terhalang prinsip preferensi, melainkan karena kepentingan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada Pemohon. 

Jika pendapat bahwa "uji konsekuensi berlaku surut" ini diperbolehkan, maka penganut pendapat itu juga harus setuju menyatakan sah kemungkinan situasi dimana Pemohon yang permohonannya telah dikabulkan dibatalkan kembali oleh badan publik berdasarkan hasil uji konsekuensi yang dilakukan atau dibuat kemudian.  

Penguji tidak boleh diposisikan atau justru mengambil posisi sebagai subyek yang diuji, dan ini adalah nama lain "independensi". Ada perbedaan esensial antara regulator dan representasi fungsi yudikatif, disebut dengan nama apa pun dan pada bidang hukum apa pun representasi fungsi yudikatif ini. 

Ketika regulasi hasil karya regulator dengan cara tertentu ternyata memungkinkan terjadinya praktik pendaftaran hak atas suatu benda bersama menjadi terdaftar hanya atas nama salah satu pemegang hak, maka representasi yudikatif adalah benteng terakhir yang bertanggung jawab penuh mengantarkan mereka yang namanya tidak terdaftar untuk memperjuangkan dan memperoleh haknya.

"Sertifikat (tanah) adalah instrumen yuridis pivotal bukti pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hukum negara tehadap hak-hak keperdataan individu warga negara, bukan alat untuk menegasikannya, hanya karena sebab-sebab tidak sah tertentu menyebabkan namanya tidak tercantum di dalamnya," tegasnya. (ac)


Komentar

Berita Lainnya