Transparansi dalam Ketidakbenaran: Paradoks BBM Eceran di Negeri Ini
Rabu, 08 Januari 2025 10:42 WITA
Wayan Suyadnya. (Foto:Dok.pribadi)
Males Baca?oleh: Wayan Suyadnya
Di negeri ini, jalan raya tak sekadar menjadi saksi deru kendaraan, melainkan juga panggung ironis dari sebuah paradoks.
Di bawah terik matahari atau bahkan remang malam, deretan botol berisi cairan berwarna biru atau kuning bening tersusun rapi di pinggir jalan.
Sang penjual BBM eceran berada di dekatnya, sambil menjaga sebuah toko kecil. Begitu transparan dan nyata di depan mata, namun siapa pun tahu—ini adalah pelanggaran.
Peraturan telah dibuat dengan tinta yang tegas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi melarang keras praktik ini. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2013 menyusul dengan nada yang sama: dilarang. Namun, seperti bayang-bayang yang mengabur di siang hari, hukum itu kehilangan wibawanya di jalan-jalan kita.
Penjual dan Pembeli Berada dalam Paradoks
Penjual membeli BBM dari pom bensin dengan jerigen—praktik yang juga dilarang. Jerigen itu diisi tanpa pertanyaan, diangkut tanpa ragu, dan berakhir di pinggir jalan sebagai dagangan yang sering kali dioplos antara Pertamax dan Pertalite. Barang subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kecil menjadi komoditas spekulasi. Ironisnya, para pembeli pun tak mempersoalkan. Mereka membeli botol demi botol, walau jelas volume dalam botol sering kurang dari satu liter. Harga? Tak sesuai dengan standar pemerintah. Tapi, di negeri paradoks, ini dianggap biasa.
Lalu muncul fenomena baru: Pertamini. Dengan kemasan yang tampak profesional, lengkap dengan "mesin" dispenser dan kanopi kecil, penjualan BBM eceran seolah dilegalkan. Padahal, aturan tetap melarangnya. Keselamatan? Terabaikan. Risiko kebakaran dan ledakan mengintai, sementara hukum hanya berdiam diri.
Ketidakadilan yang Nyata
Dalam paradoks ini, masyarakat, penjual, dan pemerintah berjalan dalam harmoni yang absurd. Penjual menikmati keuntungan, pembeli menikmati kemudahan, dan pemerintah? Mereka menutup mata. Ketika ada yang berkata, "Untuk apa membuat peraturan jika tidak dijalankan?" jawabannya hanya sunyi yang menggema.
Apakah ini akan dibiarkan? Dunia paradoks ini menunjukkan bagaimana pelanggaran terang-terangan bisa menjadi norma. Ketika hukum hanya sekadar tulisan tanpa tindakan, pelanggaran akan berakar, tumbuh, dan menjadi budaya. Namun, sebuah pertanyaan mendasar menggema: apakah ini yang kita inginkan? Jika transparansi dalam ketidakbenaran dibiarkan, masa depan seperti apa yang sedang kita ciptakan?
Paradoks ini adalah potret nyata sebuah bangsa yang perlu bertanya ulang pada dirinya sendiri—apakah hukum adalah cermin keadilan atau sekadar hiasan dalam bingkai peradaban?
Penulis adalah Dewan Pembina Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali
Komentar