Kasus Landak Nyoman Sukena, Meluluhlantakkan Kepercayaan Masyarakat dalam Penegakan Hukum
Sabtu, 14 September 2024 10:54 WITA
I Made Somya Putra SH MH
Males Baca?I Nyoman Sukena terdakwa kasus Landak Jawa (Hystrix javanica) yang didakwa karena memelihara satwa dilindungi tanpa izin akhirnya dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum pada Jumat, 13 September 2024. Langkah hukum JPU menindaklanjuti dikabulkannya penangguhan penahanan terhadap warga Desa Bongkasa Pertiwi, Mengwi, Kabupaten Badung tersebut.
Sebelumnya penasehat hukum dan aparat desa telah mengajukan penangguhan penahanan. Dan dalam pledoinya, pasti Sukena meminta bebas. Sepertinya, majelis hakim dalam putusan yang akan dijatuhkan pada 19 September mendatang, akan kompak dengan JPU dan penasehat hukum akan membebaskan I Nyoman Sukena.
Perlu diketahui bahwasanya proses hukum sebelumnya dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, dan dilimpahkan hingga didakwa dan diadili hakim baik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kepolisian dan Kejaksaan serta hakim telah memposisikan dan mempersepsikan I Nyoman Sukena sebagai orang yang bersalah, karena adanya tindakan penahanan.
Pahlawan keadilan yang pertama dan harus kita ucapkan terima kasih bagi I Nyoman Sukena adalah awak media atau pers yang mempublikasikan perkaranya, hingga menjadi atensi publik yang membuat para advokat, anggota DPR, pejabat, pegiat media bersuara, lalu mengganggu keyakinan JPU yang mendakwa.
Setelah kekuatan rakyat hampir membunuh kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, barulah JPU terlihat khawatir dan terlihat merasa bersalah yang akhirnya mengambil langkah mengajukan penangguhan penahanan dan menuntut agar terdakwanya yang JPU nilai awalnya bersalah menjadi bebas.
Tuntutan bebas memang pernah ada, tapi tidak lazim, apalagi alasannya karena tidak ada niat jahat (mens rea), yaitu sebuah unsur dalam teori kesalahan pidana, sebab unsur tersebut sebelum dibawa ke pengadilan haruslah sudah terbukti dengan kuat, dalam bukti permulaan yang cukup.
Artinya hancur sudah hasil penyelidikan, penyidikan dan dakwaan di tangan Jaksa Penuntut umum sendiri melalui sebuah tuntutan hasil atensi publik yang ternyata lebih membawa keadilan bagi perasaan hukum masyarakat, atau bisa dikatakan proses penyelidikan, penyidikan dan dakwaan serta penahanan, telah diakui sebagai sebuah kesalahan dalam penegakan hukum.
Mari kita berpikir, bagaimana jika pers tidak memberitakan, dan tidak ada atensi publik, apakah yakin Jaksa dan Hakim bersikap sama? Di sinilah anggapan “No Viral No Justice” menjadi penentu alur hukum, yang mempermalukan sikap-sikap pemilik diskresi aparat penegak hukum yang selama ini terasa jagoan dalam menentukan nasib manusia tanpa kebijaksanaan.
Kini keangkuhan pemegang diskresi runtuh dan hampir meluluhlantakkan bangsa dan negara karena hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia yang tidak mengukur fungsi keadilan dan kemanfaatan.
Komentar