Poktan TDB Bawa Kasus Sengketa Lahan dengan PT KPC ke Mahkamah Agung

Rabu, 29 Mei 2024 01:05 WITA

Card image

Ketua Kelompok Tani Taman Dayak Basap Pungkas dan M Rafik, (Foto: Nanda)

Males Baca?

 

MCWNEWS.COM, KUTAI TIMUR - Sengketa lahan seluas 152,3 hektar di Kutai Timur terjadi antara Kelompok Tani Taman Dayak Basap (Poktan TDB) dengan salah satu perusahaan tambang terbesar di Provinsi Kalimantan Timur.

Perkara tersebut telah masuk ke meja persidangan dan oleh putusan Pengadilan Tinggi Samarinda, PT Kaltim Prima Coal (KPC) dimenangkan dalam perkara ini.

Ketua Kelompok Tani Taman Dayak Basap saat didampingi kuasa target="_blank">hukum Makmur Machmud merasa kemenangan tersebut hasil pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi Samarinda saja.

"Putusan yang diambil oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Samarinda, kami anggap ultra petita," ujarnya, Minggu (2/10/2022).

Menurutnya, kemenangan PT KPC didasari hasil diterimanya eksepsi tergugat I. Sebaliknya, eksepsi yang termuat dissenting opinion itu tidak ada didalam eksepsi.

Justru lanjutnya, yang ada di dalam eksepsi itu hanya OJI. Namun masalahnya, OJI ini tidak ada yurisprudensi atas hibah lahan itu.

"Saya merasa eksepsi yang diterima itu tidak punya dasar dan keluar dari jalur. Itu karena semuanya berdasarkan dissenting opinion pendapat pakar target="_blank">hukum minoritas. Dalam pertimbangan musyawarah hakim, ada 3 orang yang memiliki pendapat berbeda. Lalu apa dasar mereka memunculkan dissenting opinion tapi jawabnya tidak tahu," tuturnya.

Dikatakan bahwa memang benar pembeli beritikad baik harus dilindungi undang-undang. Tapi menurutnya, itu bukan atau tidak ada dalam undang-undang melainkan hal ini yurisprudensi Mahkamah Agung.

"Ketika hasil eksepsi dari tergugat I dipelajari lebih dalam, ternyata dissenting opinion ini memang tidak jelas dasarnya dan dissenting opinion tidak masuk akal," ungkapnya.

{bbseparator}

Makmur Machmud juga menyatakan alasan lain yang dianggapnya putusan Pengadilan Tinggi Samarinda ultra petita, sebab eksepsi yang merupakan dasar pertimbangan dan dikabulkannya kemenangan tergugat I ini menjadi tanda tanya besar. 

Pasalnya, eksepsi itu sebelumnya tidak masuk dalam eksepsi di Pengadilan Negeri Sangatta. Poktan TDB pun menganggap hal itu keluar jalur. Sebab, eksepsi itu tiba-tiba muncul dan dikabulkan Pengadilan Tinggi Samarinda. 

"Di dalam eksepsi Pengadilan Tinggi Samarinda, lahan itu disebutkan milik OJI. Nah, yang kita pertanyakan OJI ini siapa. Disebutkan Yurisprudensinya, OJI ini masalah hibah," bebernya.

"OJI ini dikabarkan sudah menghibahkan lahan ratusan hektare kepada PT KPC. Padahal yang punya tanah itu bukan OJI melainkan lahan milik Negara. Tanah dibuka secara perbatasan, yang mana artinya lahan garapan yang dirintis sejak tahun 1993," sambungnya.

Dipelajari berulang kali kata Makmur, hasil eksepsi antara Pengadilan Negeri Sangatta dan Pengadilan Tinggi Samarinda memang tidak sinkron. Di Pengadilan Negeri Sangatta tidak pernah membahas eksepsi itu, namun di Pengadilan Tinggi Samarinda malah meributkan surat kepemilikan.

Poktan TDB merasa terkecoh atas dissenting opinion tergugat I kepada Pengadilan Tinggi Samarinda. Bahkan, pembentukan kelompok tani didalam eksepsi PT KPC pada Pengadilan Negeri Sangatta sebelumnya tidak menjadi masalah, namun kini kapan terbentuknya Poktan TDB dipermasalahkan. 

"Itulah yang kami anggap ultra petita," tegasnya.

Hakim juga dianggap telah memutuskan hal di luar dari permintaan tergugat, karena di dalam eksepsi tergugat I tidak pernah membahas pembentukan Poktan TDB ataupun alasan terbitnya surat baru pada tahun 2019. Tidak ada juga pembahasan mengapa lahan itu atas nama Poktan TDB, bukan atas nama Pungkas, Taman Dayak Basap. 

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tidak pernah dimuat dalam eksepsi tergugat I pada saat di Pengadilan Negeri Sangatta. Maka seharusnya tidak boleh juga dibahas di Pengadilan Tinggi Samarinda.

{bbseparator}

"Ini dissenting opinion Majelis Hakim, dibahas karena mereka tahu celahnya. Hanya celah itulah yang tidak pernah termuat pada putusan Pengadilan Negeri Sangatta," terangnya.

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Samarinda mengikuti dissenting opinion, padahal dasar dissenting opinion itu tidak pernah ada. Seharusnya, hasil eksepsi PT KPC yang dimuat itu dikaji ulang. Karena, di dalam eksepsi tergugat I itu membahas soal alamat yang salah, harusnya gugatan ke Jakarta bukan ke S-23.

Selain itu tutur Makmur, gugatannya kabur alias tidak jelas yang menyatakan lahan itu letaknya di mana. Lalu, kurangnya pihak (harusnya menggugat pihak kecamatan). Sebab, pihak kecamatan yang menjadi tim dalam pembebasan lahan itu. Kemudian juga, masalah surat kuasa belum diregistrasi padahal faktanya sudah.

"Dalam eksepsinya tidak ada membahas di luar dari jalur itu, lalu mengapa pada saat di Pengadilan Tinggi Samarinda muncul masalah lainnya. Kami menganggap putusan Pengadilan Tinggi Samarinda keliru," urainya.

Ia berpendapat, hak untuk menentukan siapa saja yang akan ikut menjadi pihak di dalam gugatan itu adalah hak prerogatif dari penggugat. Harusnya penggugat yang menunjuk atau memasukkan siapa saja yang akan digugatnya dalam perkara itu.

"Maka terjadilah silang sengketa, di mana nantinya yang bisa menentukan itu hanya Mahkamah Agung. Kira-kira akan menguatkan hasil pertimbangan Pengadilan Negeri Sangatta atau Pengadilan Tinggi Samarinda. Kalau menguatkan hasil putusan Pengadilan Negeri maka membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, atau sebaliknya," ucapnya.

Namun demikian pihaknya percaya Mahkamah Agung jauh lebih paham masalah yang dihadapi masyarakat Kutai Timur. Bahkan Perkara tersebut sudah bergulir di Mahkamah Agung RI dengan registrasi perkara nomor 3475.K/Pdt/2022. 

"Alhamdulillah nomor registrasi perkara kami di Mahkamah Agung juga sudah terbit, semoga tidak akan lama lagi hasil putusan Mahkamah Agung segera keluar," pungkasnya. (mm)


Komentar

Berita Lainnya