Tanah Dikuasai Investor, Ratusan Warga Desa Adat Jimbaran Ngadu ke DPRD Bali

Senin, 03 Februari 2025 18:54 WITA

Card image

Ratusan warga Desa Adat Jimbaran mendatangi DPRD Bali bahas penyalahgunaan lahan, Senin (3/1/2025). (Foto: Ran/MCW)

Males Baca?

DENPASAR - Ratusan warga Desa Adat Jimbaran yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) menggeruduk kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, Senin (3/1/2025). Mereka meminta tanah yang telah dihuni secara turun-temurun oleh masyarakat adat agar dikembalikan. 

Perwakilan Kepet Adat I Wayan Bulat menerangkan, terdapat kurang lebih 280 hektare tanah adat berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) yang saat ini dikuasai investor dari beberapa perusahaan. 

Pihaknya juga mencium adanya praktek melawan hukum terkait proses perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) pada 2010 lalu. Sebab, kata dia, ketika diperpanjang sebagian besar lahan tersebut dalam kondisi terlantar.

"Adanya penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur Bali dan pejabat lainnya, bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana-prasarana kegiatan multilateral yang diselenggarakan pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini di lokasi tidak ada pembangunan sebagaimana dimaksud," tegas Wayan Bulat.

Bulat juga menduga perpanjangan HGB dipaksakan lantaran sebelumnya ada Surat Penetapan Indikası Tanah Terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional. Sehingga seharusnya tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik hak-hak lama, bukan justru diperpanjang SHGB.

"Dapat kami sampaikan juga, bahwa kami sedang menempuh upaya hukum Perdata dan Pidana dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat," kata Wayan Bulat.

Sementara, Kuasa Hukum Kepet Adat I Nyoman Wirama, S.H., menyatakan Sidang Perdana terkait sengketa lahan ini digelar berdasarkan Nomor Perkara 142/Pdt.G/2025/PN Dps.

Adapun sejumlah perusahaan atau investor yang digugat adalah PT Jimbaran Hijau, PT Citratama Selaras, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali, PT Baruna Realty, dan Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.

{bbseparator}

Ia menerangkan, akar permasalahan dari gugatan ini terjadi pada 1994 saat pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan, untuk kepentingan umum. Namun, pembebasan lahan tersebut dilakukan dengan cara represif atau kekerasan serta keterlibatan aparatur negara.

Nyoman Wirama menduga, proses pembebasan lahan tersebut sarat muatan bisnis lantaran setelah dibebaskan, justru diterbitkan sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

"Bahwa di antara SHGB yang terbit, diantaranya yang berhasil ditelusuri oleh Penggugat, yaitu SHGB nomor 370/Jimbaran, SHGB nomor 371/Jimbaran, SHGB 372/Jimbaran, SHGB nomor 188/Jimbaran, SHGB nomor 190/Jimbaran, SHGB nomor 192/Jimbaran, SHGB nomor 193/Jimbaran, SHGB nomor 189/Jimbaran, SHGB nomor 1069/Jimbaran, SHGB nomor 386/Jimbaran, SHGB nomor 4138/Jimbaran, SHGB nomor 4137/Jimbaran," bebernya.

Reporter: Ran


Komentar

Berita Lainnya