Tolak AFU Sebagai Calon Gubernur, Sarudin: MRPBD Mencederai Hak Perempuan Papua

Senin, 16 September 2024 10:02 WITA

Card image

Aksi demo damai yang digelar di Kantor KPU Provinsi Papua Barat Daya, terkait penolakan pada AFU untuk berkontestasi pada Pilkada Serentak bulan November mendatang.

Males Baca?

RAJA AMPAT – Tokoh muda Raja Ampat, Sarudin, menyayangkan keputusan Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD) yang dinilai mencederai nilai-nilai adat serta hak-hak perempuan Papua.

Kritik ini muncul setelah MRPBD menolak Abdul Faris Umlati (AFU) sebagai calon Gubernur Provinsi Papua Barat Daya (PBD), yang menurut Sarudin, juga melanggar hak-hak perempuan Papua, khususnya dari garis keturunan ibu.

Sarudin, yang lahir dari rahim perempuan suku Byak Muslim, menegaskan bahwa tindakan MRPBD ini merupakan pelecehan terhadap kaum perempuan Papua, atau yang kerap disebut sebagai "Mama Papua". 

"Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) sudah jelas mengatur tentang hak-hak keturunan dari ibu, namun MRPBD malah diskriminatif dan memecah-belah masyarakat. Wilayah adat Doberai, termasuk suku Maya di Kabupaten Raja Ampat, memiliki hak yang harus dihormati," jelas Sarudin, atau yang juga dikenal dengan nama Naek Sorban, pada Minggu (15/9/2024).

Sebelumnya pada 9 September 2024, diketahui ada aksi demo damai yang digelar di Kantor KPU Provinsi Papua Barat Daya. Demo ini terkait penolakan pada AFU untuk berkontestasi pada Pilkada Serentak bulan November mendatang.

Sarudin menekankan bahwa masyarakat pesisir, seperti di Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana, memiliki karakteristik sosial dan budaya yang berbeda dari masyarakat pegunungan. Oleh karena itu, ia menilai bahwa keputusan MRPBD mencerminkan ketidaktahuan mereka tentang keragaman sosial dan budaya Papua.

"Di wilayah pesisir Papua, toleransi antara agama sudah menjadi bagian dari budaya, di mana keluarga-keluarga memiliki anggota Muslim dan Nasrani. Contohnya, di suku Byak, marga Inwasef memiliki anggota yang Muslim dan Nasrani, begitu juga marga Dimara. Suku Maya sub-suku Wawiyai, seperti gelet Gamso, juga memiliki anggota keluarga yang memeluk kedua agama tersebut," tambah Sarudin.

Sarudin menyerukan agar MRPBD lebih memahami keberagaman masyarakat adat Papua, khususnya di wilayah pesisir. Menurutnya, MRPBD telah melakukan kesalahan besar dengan tidak mengakui hak-hak politik keturunan dari ibu. Ia juga menyarankan agar MRPBD menggelar sumpah adat sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan mereka.

"MRPBD harus mengambil tanggung jawab atas kesalahan ini dan mengakui mereka yang lahir dari rahim perempuan Papua. Kalau tidak, mereka harus membuat sumpah adat sebagai bentuk penyesalan," pungkasnya.

Sarudin juga menekankan bahwa minimnya pengetahuan MRPBD tentang antropologi sosial serta ketentuan dalam UUD Otsus menjadi akar dari masalah ini. "Hak politik dari garis keturunan ibu harus dihormati, dan MRPBD harus lebih bijak dalam menjalankan tugasnya," tutupnya.

Reporter: Ris


Komentar

Berita Lainnya