Keputusan Sensitif dan Perkawinan Campur di Dusun Piling Mencuri Perhatian Mahasiwa Modul Nusantara

Selasa, 28 Mei 2024 17:22 WITA

Card image

Foto bersama: Kelompok Modul Nusantara, Pertukaran Kelompok Mahasiswa Merdeka 3 Inbound Unud, Sabtu (16/9/2023). (Foto: Dok.Unud)

Males Baca?

“Jika kegiatan mesti terjadi di hari yang sama, misalnya persembahyangan maka waktunya diatur. Siapa yang melaksanakan kegiatan pagi, siapa yang melaksanakan kegiatan sore. Jika ada piodalan (upacara keagamaan umat Hindu), dan misalnya ada warga umat Kristen meninggal maka disepakati upacara penguburan dilaksanakan setelah kegiatan di pura selesai,” jelas Bendesa I Made Sutarsa.

Sementara itu, Dewan Gereja Katolik Andreas I Made Agus Wirawan menjelaskan bahwa perkawinan campuran tidak melibatkan perbedaan agama dalam upacara pernikahan itu sendiri. Kebebasan diberikan kepada calon pengantin untuk memilih agama yang akan diikuti dalam pernikahan mereka, dan proses administrasi dilakukan sesuai dengan agama yang dipilih.

Andreas menuturkan muda-mudi di Dusun Piling kalau jatuh cinta beda agama tidak akan was-was hubungannya ditentang keluarga masing-masing. Dua sejoli, katanya, didukung berhubungan oleh keluarga masing-masing dan saat mereka serius untuk menikah diberikan kebebasan mengambil keputusan berdua akan menikah dan memeluk agama apa di keluarganya. 

“Kalau calon pengantin memutuskan menikah dengan agama Hindu maka prosesi pernikahan dalam agama Hindu dan berbagai tahapan upacara dan persyaratan administrasi harus dilengkapi. Demikian sebaliknya jika mereka ingin menikah dalam Agama Kristen maka tahapan dan kelengkapan administrasi agama Kristen yang diurus kedua mempelai,” terangnya.

Baik Bendesa Adat Made Sutarsa dan Dewan Gereja Katolik Andreas menceritakan secara historis akulturasi Hindu dan Kristen di Piling berkembang sejak salah satu warga setempat memeluk agama Kristen Protestan tahun 1936. Sedangkan, Kristen Katolik masuk Dusun Piling pada tahun 1955. 

Kadus Piling I Wayan Putra Sedana dan I Wayan Sukaarta (keduanya pemeluk agama Kristen) menyetujui penjelasan pemuka adat dan agama tersebut. Putra Sedana yang mengaku masih saudara dekat dengan Bendesa I Made Sutarsa menyatakan tidak pernah ada konflik antar umat beragama di wilayahnya. 

Umat yang berbeda agama melaksanakan kolaborasi dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan di tempat suci masing-masing. “Kami membentuk kelompok suka-duka sebagai wadah koordinasi antar umat bergama,” tutur Putra Sedana. 

Sedangkan I Wayan Sukaarta menuturkan warga Piling memahami spirit kehidupan beragam adalah cinta kasih sehingga mereka tumbuh bersama, hidup berdampingan dan saling memahami.

Bendesa Made Sutarsa kemudian mencontohkan warga Kristiani sering ngayah menyiapkan sesajen untuk piodalan di pura. “Banyak ibu-ibu umat Kristiani yang pintar mejejaitan (membikin hiasan sesajen-red),” tutur tetua adat itu. 


Halaman :

Komentar

Berita Lainnya