KPK Tetapkan Konglomerat Donald Sihombing Tersangka, Langsung Dijebloskan ke Penjara
Kamis, 19 September 2024 07:17 WITA
Lima Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Lahan di Rorotan Jakarta Utara Digiring KPK untuk Ditahan
Males Baca?JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya tahun 2019 - 2020. Salah satu tersangkanya yakni Konglomerat, Donald Sihombing (DNS).
Donald Sihombing merupakan Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada. Orang terkaya ke-14 di Indonesia versi Forbes pada 2019 tersebut ditetapkan sebagai tersangka bersama dua petinggi PT Totalindo Eka Persada lainnya. Mereka yakni, Komisaris PT Totalindo Eka Persada, Saut Irianto Rajagukguk dan Direktur Keuangan, Eko Wardoyo.
Selain itu, KPK juga menetapkan Mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontoan dan Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Indra S Arharrys. Total ada lima tersangka dalam kasus ini.
Setelah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka, kelimanya langsung dijebloskan ke penjara. KPK menahan Donald Sihombing Cs di Rutan Gedung Merah Putih KPK untuk 20 hari pertama. Dengan demikian, kelima tersangka bakal mendekam di sel tahanan setidaknya hingga 7 Oktober 2024.
"KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada para tersangka untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2024 sampai dengan 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih," kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).
Dijelaskan Asep, PT Totalindo Eka Persada merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan tanah kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya. PT Totalindo Eka Persada membeli tanah di Jakarta untuk dijadikan sebagai bank tanah atau land bank.
Adapun, lahan seluas total 12,3 hektare di Rorotan dibeli Perumda Pembangunan Sarana Jaya dari PT Totalindo Eka Persada senilai Rp 371,5 miliar pada 2019 lalu. Padahal, tanah itu sebelumnya dibeli PT Totalindo dari PT Nusa Kirana Real Estate atau PT NKRE dengan nilai yang jauh lebih murah.
Berdasarkan hasil pengecekan di lapangan, kata Asep, lahan seluas sekira 11,7 hektare dibeli PT Totalindo Eka Persada dari PT NKRE seharga Rp 950.000 per meter persegi yang diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT Totalindo Eka Persada dengan nilai transksi total Rp 117 miliar.
Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp223,8 miliar. Kerugian negara tersebut akibat penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada 2019-2021.
{bbseparator}
"Nilai kerugian negara atau daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT Totalindo Eka Persada dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya sebesar Rp 371,5 miliar dikurangi harga transaksi riil PT Totalindo Eka Persada dengan pemilik tanah awal, PT Nusa Kirana Real Estate setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB dan biaya notaris sebesar total Rp 147,7 miliar," papar Asep.
Tak hanya mark up harga, Asep menyatakan, pengadaan tanah di Rorotan itu dilakukan dengan berbagai penyimpangan. Beberapa di antaranya, Yoory mengarahkan untuk tidak perlu menunjuk kantor jasa penilai publik (KJPP) independen untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT Totalindo Eka Persada.
Tak hanya itu, pihak Totalindo Eka Persada juga mengetahui enam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT Totalindo.
Berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan lahan di Rorotan itu diduga lantaran Yoory menerima fasilitas dari PT Totalindo Eka Persada. Yoory diduga menerima valas dalam dolar Singapura senilai Rp 3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada. Selain itu, Yoory diduga mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.
"Pembelian aset Saudara YCP berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi Saudara EKW dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut," ungkapnya.
Reporter: Satrio
Komentar