Putusan MK tentang Konstitusionalitas PEPERA 1969 Keengganan MK Beri Keadilan Rakyat Papua
Rabu, 29 Mei 2024 09:55 WITA
Males Baca?
Sehingga konsekuensi logisnya, Penjelasan Umum UU No. 12/1969 mengenai kesukarelaan OAP untuk bersatu dengan Indonesia merupakan informasi yang dimanipulasi.
Selain menolak pokok permohonan, majelis hakim juga mempertanyakan legal standing para pemohon.
Bagi MK empat belas organisasi dan individu asli Papua tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan. Alasannya tidak tergambar jelas, pada pokoknya MK menyatakan bahwa pada kasus ini yang memiliki legal standing adalah Gubernur Papua dan anggota DPRD Provinsi Papua.
Majelis Eksaminasi, Anggara, mengomentari pertimbangan MK, baginya, MK tidak berhak membatasi legal standing pemohon perorangan yang mendapatkan kerugian konstitusional. Hak kolektif OAP tidak dapat dibatasi hanya pada Gubernur atau DPRD Provinsi.
Sempitnya kacamata MK dalam melihat persoalan PEPERA dan masyarakat Papua secara umum menurut Dr. Ngurah Suryawan disebabkan kegagalan negara secara umum dalam membaca orientasi masyarakat Papua.
"Kritik terbesar saya kepada Papua Road Map adalah kegagalan negara dalam memahami orientasi sosial-budaya masyarakat Papua yang sangat berbeda dengan orientasi modernitas dan kemajuan yang sering digunakan negara," ujarnya.
Kegagalan ini pun melembaga di institusi pengadilan yang paling berhak menilai kerugian konstitusional, akhirnya masyarakat Papua tidak pernah berdaulat atas diri dan orientasinya.
Terakhir, Herlambang P. Wiratraman, Ph.D menutup paparan dengan menyatakan bahwa putusan ini menitikberatkan pada formalitas hukum, dibanding mengajarkan nalar yang menjangkau rasa keadilan publik untuk melindungi hak asasi manusia. Putusan MK ini justru menopang politik otoriter karena gagal keluar dari bayang-bayang resiko politik ketatanegaraan. (Les)
Komentar