Rugikan Negara Miliaran Rupiah, Tersangka Korupsi Heli AW 101 Dijebloskan ke Bui
Selasa, 28 Mei 2024 16:16 WITA
Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konpers penahanan Irfan Kurnia Saleh
Males Baca?
MCWNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias John Irfan Kenway (JIK). Irfan Kurnia merupakan tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengadaan helikopter Agussta Westland (AW-101) yang merugikan negara hingga miliaran rupiah.
Irfan Kurnia Saleh ditahan setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada hari ini. Ia sempat mangkir saat dipanggil KPK sebagai tersangka sebelumnya. Irfan dipenjara setelah sempat melenggang bebas dengan status tersangkanya selama hampir lima tahun.
"Tim penyidik melakukan upaya paksa terhadap IKS berupa penahanan 20 hari terhitung mulai 24 Mei 2022 sampai 12 Juni 2022 di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat menggelar konpers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (24/5/2022).
Irfan Kurnia Saleh bersama sejumlah pihak lainnya diduga telah merugikan keuangan negara sekira Rp224 miliar. Kerugian negara itu disebabkan pengadaan helikopter angkut jenis AW-101 untuk TNI AU. Di mana, spesifikasi helikopter tersebut tidak sesuai dengan harganya.
"Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar," ungkap Firli.
Firli menjelaskan, mulanya Irfan selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus PT Karsa Cipta Gemilang berkoordinasi dengan salah satu pegawai PT Agusta Westland (PT AW), Lorenzo Pariani (LP).
Irfan dan Lorenzo kemudian menemui mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara, Mohammad Syafei (MS) di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur, sekira Mei 2015. Pertemuan tersebut membahas pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP untuk TNI AU.
"IKS yang juga menjadi salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS. Di mana, harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar)," kata Firli.
Selanjutnya, sekira November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan Kurnia Saleh untuk hadir dalam tahap prakualifikasi. Rencananya, PT Diratama Jaya Mandiri akan ditunjuk langsung sebagai pemenang proyek.
{bbseparator}
"Dan hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," sambung Firli.
Pengadaan helikopter AW 101 untuk TNI AU tersebut kembali dilanjutkan pada 2016 dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar. Proses pengadaan saat itu menggunakan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.
"Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan," katanya.
Adapun, harga penawaran yang diajukan Irfan Kurnia Saleh saat itu masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 yakni, senilai 56,4 juta dolar AS. Harga penawaran tersebut kemudian disetujui oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
"IKS juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan FA (Fachri Adamy) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)," bebernya.
Lelang tersebut kemudian dimenangkan perusahaan Irfan Kurnia Saleh. Irfan diduga menyiapkan dan mengkondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti proses lelang tersebut. Perusahaan Irfan kemudian disetujui oleh PPK.
Irfan diduga telah menerima proses pembayaran 100 persen dari pengadaan helikopter tersebut. Namun faktanya, ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak. Di antaranya, tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Hal itu kemudian mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp224 miliar.
Atas perbuatannya, Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (ads)
Komentar