WPLO Minta PBB Bertanggungjawab atas Papua, Steve Mara: Pepera 69 Sah dan Penuhi Prinsip Internasional

Rabu, 29 Mei 2024 09:51 WITA

Card image

Ketua Melanesian Youth Diplomacy Forum (MYDIF) Steve Mara.

Males Baca?

JAYAPURA - Ketua Melanesian Youth Diplomacy Forum (MYDIF) Steve Mara tegas menyebut jika proses PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969 adalah sah sesuai prinsip internasional.

Tanggapan Steve ini atas upaya West Papua Liberation Organization (WPLO) John Anari meminta PBB ikut campur membebaskan Papua dari Indonesia yang disampaikan dalam sidang PBB yang dilaksanakan pada 15-26 April 2024 di New York Amerika Serikat.

Jhon Anari mengatakan bahwa PBB harus bertanggung jawab atas perbuatan PBB yang mangambil alih Papua pada saat Belanda melepaskan Papua untuk menjadi negara sendiri namun PBB menyerahkan Papua kepada Indonesia pada tanggal 01 MEI 1963 melalui United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA).

Sebelumnya juga, Jhon Anari juga mempertanyakan keabsahan resolusi 2504 yang menurutnya resolusi 2504 tersebut lahir dari proses yang cacat karena proses Penentuan Pendapat Rakyat yang tidak melibatkan seluruh masyarakat Papua pada tahun 1969. 

"Proses Act of Free Choice yang dilakukan pada tahun 1969 adalah proses yang sah karena telah memperhatikan berbagai prinsip internasional,"tegas Steve kepada media ini, Sabtu (11/5/2024) malam.

Jelas dia, proses dari penunjukan perwakilan PBB pada tanggal 01 april 1968, Ortiz Sanz ditunjuk sebagai UN Representative for West Irian (UNRWI). Selanjutnya Ortiz tiba di Indonesia pada tanggl 12 agustus 1968 dan melakukan perjalan bersama ketiga stafnya selama 10 hari lalu tiba ditanah Papua pada tanggal 23 agustus 1968. Proses berjalan, hingga 30 Mei 1969 UNRWI menerima jadwal pelaksanaan PEPERA tersebut. 

"Proses PEPERA ini berjalan semenjak tanggal 14 juli 1969 di Merauke, 17 Juli 1969 di Wamena, 19 Juli 1969 di Nabire, 23 Juli 1969 di Fak-fak, 26 Juli 1969 di Sorong, 29 Juli 1969 di Manokwari, 31 Juli di Biak, dan selesai di Jayapura pada tanggal 02 Agustus 1969. PEPERA dilaksanakan di 8 daerah di Kabupaten/Kota dengan hasil 1.025 orang yang menghadiri PEPERA tersebut menghendaki untuk tetap bersama Indonesia," paparnya.

Lanjutnya, pada 18 Agustus 1969, Ortiz Sanz meninggalkan Indonesia dan melaporkan laporannya di sidang umum pada tanggal 06 November 1969, dan pada tanggal 19 November 1969, resolusi Papua tentang Papua tetap menjadi bagian integral dalam bingkai NKRI yang dibahas didalam sidang umum PBB disetujui oleh 84 negara. 

"Perlu dipahami bahwa PBB ini adalah badan antar pemerintah dan semua resolusi yang diajukan atau yang mau digugurkan harus dan hanya diusulkan oleh negara atau kelompok negara, permintaan WPLO kepada Majelis Umum PBB diluar konteks tersebut, karena Berdasarkan aturan-aturan prosedur Sidang Majelis Umum PBB, Individu atau kelompok individu tidak punya hak inisiatif dan hal ini sudah secara konsisten diterapkan disistem PBB,"ucapnya.

Steve pun meminta WPLO membaca dan memahami dokumen General Assembly (Majelis Umum) PBB yang mengatur hak inisiatif negara-negara anggota PBB.

{bbseparator}

"Agar tidak gagal paham, saya sarankan kelompok WPLO dapat membaca Rules of Prosedurs of the General Assembly, dokumen bernomor A/520/Rev. 17. Adapun inisiatif yang diajukan negara atau kelompok negara sebelumnya harus disetujui oleh sebuah komite (General Committee/GC) untuk dapat tidaknya dibahas didalam salah satu dari 6 Komite Sidang Majelis Umum PBB. Jika tidak disetujui, tidak mungkin menjadi agenda Sidang, apalagi inisiatif dan upaya yang dilakukan itu dinilai menganggu kedaulatan dan integritas negara,"jelasnya.

Selanjutnya mengenai pertanggung jawaban yang diminta oleh WPLO kepada PBB terkait proses penyerahan Papua ke Indonesia pada tahun 1963.

"Proses pertanggung jawaban PBB itu sudah dilakukan melalui pelaksanaan Act Of Free Choice tahun 1969 tersebut, dan hasilnya sudah jelas bahwa Papua telah menjadi bagian integral dari Indonesia berdasarkan pilihan orang Papua sendiri. Sehingga tidak ada lagi pertanggung jawaban yang harus dilakukan oleh PBB terkait dengan masalah kedaulatan Indonesia, hal itu sudah selesai pada tahun 1969,"tegasnya.

Dia juga mengingatkan bahwa, PBB tidak bisa melakukan intervensi terhadap kedaulatan negara, karena hal itu ada prinsip internasionalnya yaitu Non-intervention. Kecuali, masyarakat dari daerah yang mau diintervensi oleh negara atau PBB tersebut sudah tidak memberikan Legitimasi terhadap pemerintahnya.

"Sedangkan kenyataan hari ini, masyarakat Papua memberikan legitimasi kuat kepada negara, berkarya dalam berbagai bidang dan turut serta membangun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara,"jelasnya.

"Jadi proses untuk mempersalahkan masa lalu saya pikir sudah tidak perlu dibahas lagi, sekarang saatnya para pemimpin Papua, senior-senior saya yang ada didalam dan luar negeri, mari bagi ilmu yang baik, kasih semangat generasi muda Papua untuk mempersiapkan diri dan menjaga diri dari setiap ancaman yang akan datang, kita dukung pemerintah kita, agar kita bisa melihat Papua yang damai dan sejahtera,"imbuhnya.

Reporter: Edy


  • TAGS:
  • JAYAPURA

Komentar

Berita Lainnya